Mafia Hukum dan Kekuasaan (Catatan Hitam Demokrasi Maluku)

Mafia Hukum dan Kekuasaan (Catatan Hitam Demokrasi Maluku)
Tulisan ini pernah di muat di koran Info Baru & Malukunews.co serta Rakyat Maluku & Ambon Ekspres, edisi Senin 3 Maret dan Selasa 4 Maret 2014

“Power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely (Kekuasaan cenderung untuk korup, dan kekuasaan mutlak cenderung menjadi korup secara mutlak pula)”.

Sangat kental diktum Lord Acton terhadap kekuasaan tersebut kini semakin kuat menderas, mengalir dan membentuk nomenkalutur rezim elite kekuasaan baik pusat maupun daerah mencitrakan diri kedalam jiwa yang korup. Paradigma demokrasi mulai melewati masa emasnya menyejahterakan rakyat, dan kemudian bergeser atas disfungsi kewenangan kekuasaan yang Kleptokrasi. Ritme kekuasaan yang dipercaya rakyat kian saja luntur, karena ruang tahta pejabat terisi dengan pemimpin yang miskin amanah dan jujur, minim wibawa serta mengeliminasi kebijakan politik kurang dari kemaslahatan masyarakat wong cilik. Maka colapsnya wibawa pemimpin tatkala zona kekuasaan yang diempuk berjalan dekat dengan bahaya laten korupsi itu sendiri.

Perilaku kekuasaan yang dipertunjukan setidaknya sepanjang kurun waktu perjalanan demokrasi di Maluku, banyak yang dinilai janggal dan ganjil. Yang dalam kriteria Machiavelli justru sudah tepat, tetapi tidak menurut ukuran demokrasi yang baik dan benar, berdasarkan pemahaman ‘kebenaran yang mencipta keadilan’ secara universal. Adalah suatu fakta kekuasaan di luar harapan publik yang berjalan tanpa akal sehat. Ironisnya penyelewengan kekuasaan oleh pejabat daerah di Maluku dengan tindakan korup adalah kejahatan extra ordinary crime yang memutus mata rantai hidup rakyat dengan pembangunan.

Kekuasaan dilingkungan daerah yang bersih sudah pasti membutuhkan lembaga penegak hukum yang kuat, konsisten dan independen. Sebab itu, kekuasaan akan diuntungkan oleh produktifitas kinerja lembaga hukum seperti Kejati, Kejari, Kepolisian, maupun BPKP Maluku memerangi perilaku korup penyelenggara pemerintahan di Maluku. Minimal berkemampuan mempreventif dan mengadili para pejabat korup yang sangat merugikan public. Akan ikut memperkuat citra pemerintahan daerah yang baik, bersih dan berwibiwa (good and clean governance).

Kalau kekuasaan itu menggenggam wewenang kontrol atas semua institusi penegak hukum, cara paling instan adalah memreteli kewenangan penegak hukum. Proses memreteli kewenangan penegak hokum, tentu saja tidak dituangkan melalui kebijakan terbuka. Namun dilakukan melalui pengarahan (baca:permintaan atau instruksi) di ruang tertutup, atau dengan cara-cara halus ‘injak kaki’ di lapangan oleh para calo (mafia hukum) yang bertindak atas nama kepentingan kekuasaan. Cilaknya, pesona praktek politik kartel tidak hanya bersemai kedalam ranah kekuasaan politik eksekutif dan legislatif. Namun juga sudah menembus lapisan lingkaran kekuasaan hukum. Sehingga lembaga penegak hukum di Maluku bak ‘macan ompong’ yang justru melemahkan wewenang yurisdiksi mengadili para pelaku koruptor.

Prahara korupsi di Maluku semakin membara dan terjadi hingga ke semua lini sektor pembangunan. Gubernur, Bupati/Walikota hingga pejabat fungsional di negeri raja-raja ini terjebak dengan multidimensi proyek yang nilainya jauh fantastik menggoda secara dinamik. Untuk itu, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi butuh lembaga hukum yang jujur dan kuat bukan mafia hukum atau para calo yang seolah-olah menegakan hukum seperti panggung sandiwara belaka. Bukan lagi menjadi rahasia umum, ketika publik melihat proses penegakan hukum berjalan baik, padahal hanya simulasi dari aktor mafia hukum yang dengan pandai mendesaign agar terlihat indah. Sebuah tontonan publik yang amat buruk, jika kemasan produk hukum yang melahirkan para mafia hukum meriwayatkan keadilan hukum penuh bias dan menyimpang dari kebenaran.

Bencana Korupsi


Seperti jamur di musim hujan, sama prinsipnya korupsi di Maluku tak henti melanda berjalan tanpa mengenal waktu maupun penguasa. Terjadi dengan mengakar secara sistemik dan masif di semua lingkaran kekuasaan. Merilis kuantitas praktek korup yang dilakukan di rumah elite kekuasaan, maka setidaknya Provinsi Maluku mungkin yang paling tertinggi daerah terkorup di Indonesia. Ibaratnya, ‘Sudah Jatuh, tertimpa tangga pula’. Rakyatnya sudah miskin, anggaran pembangunan pun di korupsi pula. Menjelma dengan predikat buruk di bidang hukum yang terus menuai bencana korupsi yang tak berkesudahan. Pejabat kekuasaan di daerah seribu pulau itu, seperti bersangkar dengan kekayaan uang rakyat. Padanannya mencolok yang tak menunjukan kewibawaan pemimpin yang baik, santun dan berwibawa.

Tingkat korupsi yang paling besar sepanjang abad korupsi Maluku yakni dana pembangunan kembali (recovery) Provinsi Maluku pasca konflik horizontal tahun 1999 silam. Ketika Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 tahun 2003 di keluarkan dengan capaian anggaran mencapai Rp 4,4 trliun, difokuskan untuk merehabilitasi pembangunan Provinsi Maluku. Namun negara dirugikan sekitar Rp 1,6 triliun saat mantan gubernur Karel Albert Ralahalu memimpin Maluku kala itu.

Setelah dieksplorasi secara yuridis, ternyata berujung pula pada pelemahan wewenang kekuasaan ruang potensi anggaran. Nilai Rp 1,6 triliun tercium dan hingga kini lembaga penegak hukum negara ini belum menyentuh dana jumbo korupsi tersebut. Tragedi yang mengisahkan pilu lemhanya lembaga penegakan hukum Maluku tidak kuat dan berani membongkar mafia kekuasaan anggaran. Aromanya berhembus hingga ke lembaga hukum nasional di tingkat pusat karena desakan kuat dari masyarakat Maluku untuk penuntasan kasus mega proyek yang melilit hampir semua pejabat di daerah. Pertanda keadilan hukum sebentar lagi menjadi panglima untuk merongrong aktor di balik penggunaan dana mega proyek Inpres Nomor 6 tersebut.

Jika kekuasaan berdiri tanpa kontrol civil society dan mafia hukum terus giat mengekor dalam pusaran bisnis hukum dan politik, maka buntutnya pembangunan ikut terbengkelai dan terkatung-katung. Hukum dan kekuasaan seperti magnet yang saling menguat dan menguntungkan. Perkara korup berujung pada angka dan nilai kesepakatan politik. Kebenaran hukum di peteiskan oleh faktor kewenangan kekuasaan dalam berbagai sengketa korupsi. Jika tidak terjebak dengan noda hukum, untuk itu lembaga hukum harus benar-benar berani dan tajir menepis angka harapan publik yang hampir miris pesimis terhadap penegakan hukum di Maluku.

Fenomena hukum menarik yang membuat publik ragu atas pemberantasan korupsi, khususnya yang melibatkan pejabat tinggi daerah, yang memiliki kewenangan kekuasaan tertinggi juga di daerah. Seperti kasus dugaan Gratifikasi Proyek Pengadaan Pembangunan Bandara Kufar senilai Rp 2,5 miliar, dengan angka kerugian negara mencapai Rp 1,2 miliar. Melibatkan Bupati Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Abdullah Vanath. Dugaaan sinyalir penggelapan dana lainnya yang konon kabarnya melibatkan Bupati Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Jabobus Putileihalat pada Dana Taspen senilai Rp 7,7 Miliar. Dan dugaan praktek korupsi pada proyek Pengadaan Speedboat di Dishub SBB yang menelan anggaran sebesar Rp 2,7 milyar. Juga ikut menyeret nama Bupati di daerah Saka Mese Nusa itu.

Ironi memang penguasa menjadi zalim yang otoritarian ketika duduk berkuasa diwilayah yang dipimpin. Memiliki jabatan absolut, kewenangan dan kekuasaan tanpa batas atas segala sendi bidang kehidupan. Menjadi mudah mendramatisir dinamika hukum secara politis guna menjaga dan mempertahankan citra kekuasaan. Perkara korupsi yang menyeret nama baik kekuasaannya pun sangat mudah untuk direkayasa. Sehingga banyak pejabat yang kebal atas hukum karena memiliki peran dan andil kekuasaan yang besar dan kuat. Bahayanya, aparat penegak hukum menistakan jalan hukum sebagai media profit politik akibat pengaruh kekuasaan.

Korupsi memang tak mengenal kasta pejabat, proyek pembangunan dan lahan basah anggaran pun sangat cepat dikeruk untuk memperkaya diri seorang pejabat. Begitu pun dengan menduduki jabatan dinas atau jabatan fungsional/eselon terkait, sangat instan berpotensi untuk bertindak korup, mark up atau suap sekalipun. Korupsi dana senilai Rp 3 miliar oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku, Bastian Mainassy dalam proyek pancing tonda Dinas DKP Maluku. Juga menjadi problem hukum yang patut untuk di berantas. Syahwat lemahnya lembaga hukum akan di uji kualitas, jika berani dan mampu menyedot masuk perilaku pejabat korup ke hotel prodeo.

Kasus lainnya yang kini santer menguak adalah dugaan korupsi proyek pengadaan sarana multimedia dan pengadaan sarana penunjang Dinas Pendidikan dan Olahraga (Disdikpora) Maluku. Dana yang bersumber dari APBD tahun 2011 tersebut, kurang lebih Rp 1,5 miliar juga lenyap dimakan penguasa korup. Audit BPKP Maluku menemukan nilai kerugian negara mencapai lebih Rp 360 juta. Dan yang paling teranyar adalah praktek korupsi di lingkup pendidikan. Kasus dugaan korupsi dana Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Nasional (SBMPTN) Tahun Ajaran 2013/2014 senilai Rp 1,2 milyar. Menyeret nama besar Pembantu Rektor (PR) II Unpatti, Marthinus Sapteno sebagai pejabat wewenang yang korup.

Rasio tingkat korupsi Maluku mempengaruhi kohesi sosial pembangunan semakin terpojok. Corak penguasa menunjukan moralitas pejabat di daerah bermental kleptokrasi. Pemberantasan korupsi yang sarang suap dan mafia hukum berwenang, membuat lembaga penegak hukum mengalami involusi institusi secara pudar. Efeknya, kekuasaan politik praksis beringsut dengan mencaplok hak publik yang bukan hak penguasa. Rakayt semakin gersang saat menjadi tumbal kekuasaan, sebagai ekses ekploitasi kekuasaan diktator yang mengekspansi hak kekayaan publik secara ilegal dan inkonvensional.

Berhajat agar penegakan supremasi hukum ditegakan seadil-adilnya tanpa pandang bulu. Namun sisi lain, riskan bagi publik ketika melihat perilaku pejabat publik pantang menggulung praktek korupsi di Maluku. Grafik naiknya praktek korupsi ini akan semakin melebar dan bertambah. Modusnya juga beraneka cara dan sistem bagi kelas pejabat yang suka melalaikan wewenang dengan cara korup. Melihat hasil sensor kasus korupsi secara empiris, maka dugaan korupsi yang masih mengendap akan muncul ke permukaan berpotensi terbuka. Lembaga hukum harus menjadi sentra publik bagi penegakan hukum Maluku. Dan meleburkan aktor para mafia hukum yang menjajakan kasus korupsi dengan penguasa di daerah.

Neraca hukum dan kekuasaan harus berjalan berimbang untuk tujuan kemaslahatan yang harus menetralkan domain bisnis hukum maupun transaksional politik di dalam perkara korupsi. Kekuasaan yang bertugas melayani rakyat, dan keberadaan hukum berwenang mengadili penyeleweng kekuasaan adalah simbiosa demokrasi yang harus dipadukan untuk kesejahteraan rakyat. Meningkatnya pesimisme publik terhadap penegakan hukum, karena semakin kuat alergi terhadap proses pemberantasan korupsi. Kekuasaan politik di daerah di anggap arogan saat gagal menanamkan keadilan hak asasi demokrasi. Negeri kaya akan korupsi, Maluku melembagakan kekuasaan hukum dan politik menjadi hitam saat era demokrasi. Mengerdilkan kualitas pemimpin kekuasaan daerah miskin prestise, malah jatuh destruk secara devlopmentalism. Sehingga sulit untuk menciptakan hakikat valensi demokrasi yang jujur, adil dan bermartabat.

Oleh : Sanadjihitu Tuhuteru, SE *)
*) Penulis adalah, Koordinator Forum Indonesia Demokrasi untuk Maluku (FIDEM)
Previous
Next Post »